Pergolakan mahasiswa menyoal UU no
12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU Dikti) masih terjadi dan dilakukan
oleh berbagai mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri. Seperti aksi
mendukung pencabutan UU tersebut yang digelar Maret lalu oleh beberapa
mahasiswa Universitas Andalas.
Berbagai pergolakan lainnya
dilakukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP) yang turut memasukkan gugatan
baru terhadap UU Dikti. Bahkan BEM UI, PPUI (Paguyuban Pekerja Universitas
Indonesia), dan bersama KNP sedang merencanakan sebuah gerakan untuk melakukan
perlawanan dan melakukan judicial review terhadap UU Dikti.
Sejak tahun 2000 UI diubah statusnya
dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Perubahan itu terjadi pula di
beberapa PTN. Pengalihan status itu diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.152 Tahun 2000. Sejak peraturan pemerintah tersebut
diterbitkan, UI belum menjalankannya
secara konsisten. Akibatnya, ribuan pekerja UI memiliki status tidak jelas dan
hak-haknya terancam. Soal status ketenagakerjaan ini, beberapa pekerja UI sudah
melaporkannya ke
Ombudsman Republik Indonesia.
Ironisnya, praktik-praktik yang
salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi itu dilegitimasi oleh UU Dikti.
Misalnya, untuk meraih gelar profesor, seorang dosen tetap berstatus non PNS
disyaratkan harus memiliki masa kerja minimal 10 tahun. Sedangkan untuk dosen
tetap berstatus PNS, syarat tersebut tidak ada. Hal tersebut akan menimbulkan
diskriminasi terhadap pekerja di berbagai
institusi pendidikan tinggi.
Status perguruan tinggi negeri badan
hukum (PTN BH) membuat institusi pendidikan menjadi subyek hukum korporasi yang dimungkinkan untuk dipailitkan. Padahal
dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 37 tahun 2004 disebutkan bahwa BUMN dibidang
kepentingan publik, pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri
keuangan. Hal ini menunjukkan samarnya tujuan institusi pendidikan.
Juga terdapat pandangan adanya unsur-unsur komersialisasi terhadap UU Dikti. UU
Dikti berpotensi besar menutup akses pendidikan tinggi bagi rakyat golongan
ekonomi lemah. Minimnya peran negara dalam UU Dikti, menjadi celah bagi
pengelola kampus untuk menaikan biaya pendidikan karena negara tidak dapat
mencampuri urusan pengelolaan kampus, seperti melakukan pengawasan, karena
posisi negara dalam UU Dikti tidak boleh ikut campur dalam mengelola
universitas. Hal ini juga terjadi karena faktor berubahnya status berbagai PTN
yang sebelumnya dikelola pemerintah menjadi otonomi kampus.
Dalam pasal 76 ayat 2 pemenuhan hak
mahasiswa yang kurang mampu dalam menyelesaikan studinya adalah dengan
beasiswa, pembebasan biaya pendidikan, dan pinjaman dana tanpa bunga yang harus
dilunasi. Pinjaman lunak tersebut menimbulkan kontroversi karena dianggap
sebagai pelepasan tanggung jawab negara. Juga, tidak cocok dilakukan di
Indonesia yang notabene memiliki sedikit lapangan kerja dibanding luar negeri
karena mahasiswa harus segera membayar hutang setelah lulus dan menimbulkan
kemerosotan ekonomi. Dalam persoalan ini, terlihat betapa sulitnya
memberlakukan sistem tata kelola pada institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Sumber:
Artikel pada rubrik
Laporan Utama berjudul “UU Dikti :
Sistem Otonomi Itu Belum Selesai” pada Majalah Suara Mahasiswa Edisi 29.
0 comments:
Post a Comment